Social Icons

Jumat, 18 Januari 2013

Meneladani Rasul saw Tidak Setengah-Setengah



Suasana peringatan maulid Nabi saw tahun ini kembali menyapa kita. Tentu sangat layak kita merenungkan kembali keteladanan Nabi saw yang paripurna baik sebagai pribadi, pemimpin keluarga maupun pemimpin negara. Juga penting kita renungkan sudah sejauh mana kita meneladani Rasul saw dan benarkah kita sudah memuliakan Beliau atau sebaliknya, tanpa kita sadari atau karena terselewengkan, yang terjadi justru pengkerdilan terhadap teladan Rasul saw, bukannya memuliakan dan mengagungkan (takrîman wa ta’zhîman) Beliau saw.

Meneladani Tidak Setengah-Setengah

Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya kepada kita semua:

]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا[

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (TQS al-Ahzab [33]: 21)

Ayat ini memerintahkan kita semua untuk meneladani Rasul saw. Yakni meneladani seluruh teladan yang ada pada diri Rasul saw dalam semua aspek. Kita tidak boleh membatasi peneladanan kita hanya pada aspek-aspek pribadi Beliau saw saja. Kita tidak boleh meneladani Nabi saw itu terbatas pada aspek-aspek tertentu, misalkan aspek akhlak, aspek pribadi, dll, seraya mengabaikan teladan yang beliau berikan dalam aspek-aspek lainnya, khususnya aspek syariah atau hukum dan sistem. Sebab jika pembatasan itu dilakukan, maka yang demikian itu adalah bentuk pengkerdilan terhadap teladan Rasulullah saw., dan bukan memuliakan dan mengagungkan (takrîman wa ta’zhîman) Beliau saw.

Kita tidak boleh terjebak, baik disadari atau tidak, pada peneladanan Rasul saw menurut cara pandang sekulerisme. Sekulerisme memisahkan agama dari negara, kehidupan, urusan publik dan pengaturan urusan masyarakat. Sekulerisme membatasi agama hanya berperan dalam aspek ibadah ritual, moral dan individual dan keluarga (nikah, talak, rujuk dan warisan).

Kita tidak boleh terjebak meneladani Nabi saw dengan kerangka sekulerisme itu. Karena itu, kita tidak boleh hanya meneladani Nabi saw pada aspek-aspek personal, moral dan ibadah mahdhah, dan sejenisnya, sembari mengabaikan teladan beliau dalam menerapkan hukum-hukum syariah, menyelesaikan berbagai perkara dan perselisihan yang terjadi di masyarakat dengan hukum Islam dan menegakkan kekuasaan dan sistem yang menerapkan syariah itu.

Allah SWT memerintahkan agar kita mengambil apa saja Nabi saw bawa dan meninggalkan apa saja yang beliau larang. Allah SWT berfirman:
] … وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (TQS al-Hasyr [59]: 7)

Maknanya adalah apapun yang beliau perintahkan maka lakukanlah dan apapun yang beliau larang maka jauhilah. Sesungguhnya tidak lain beliau memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Kata (apa saja) dalam ayat ini merupakan lafazh umum, jadi mencakup apa saja yang beliau perintahkan dan apa saja yang beliau larang. Jadi ayat ini memerintahkan kita untuk mengambil semua perintah dan larangan yang beliau bawa dan menjadikannya sebagai pedoman. Perintah-perintah dan larangan-larangan yang beliau bawa itu tidak lain adalah syariah islamiyah dalam segala aspeknya, bukan hanya aspek pribadi, akhlak, ibadah, saja, akan tetapi juga mencakup syariah Islam tentang pemeritahan, politik dalam dan luar negeri, pendidikan, sanksi dan pidana, perekonomian, sosial dan aspek-aspek pengaturan berbagai urusan dan penyelesaian berbagai perkara dan perselisihan di masyarakat. Karena itu, ayat ini sesungguhnya memerintahkan kita untuk mengambil syariah islamiyah secara keseluruhan, menjadikannya sebagai pedoman dan menerapkannya dalam kehidupan kita.
Peringatan maulid Nabi saw sendiri bukanlah memperingati kelahiran Muhammad saw sebagai manusia. Sebab sebagai manusia, beliau sama saja dengan semua manusia lainnya. Peringatan kelahiran beliau dilakukan tentu karena posisi beliau yang sangat istimewa yakni sebagai rasul pembawa risalah/syariah Allah SWT. Allah menegaskan:

] قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ [

Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja) aku telah diberi wahyu…” (TQS Fushshilat [41]: 6).

Nabi Muhammad saw diutus sebagai rasul untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman termasuk kita semua. Allah menegaskan bahwa rasul diutus tidak lain adalah untuk ditaati. Allah SWT berfirman:

] وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ …[
 
Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah… (TQS an-Nisa’ [4]: 64)


Jadi menaati rasul itu telah diwajibkan (difardhukan) atas orang-orang yang kepada mereka rasul diutus. Rasul saw diutus kepada kita semua, maka ayat ini mewajibkan kita semua untuk menaati Rasul saw. Menaati Rasul saw tiada lain adalah dengan menaati risalah beliau saw, menaati syariah islamiyah yang beliau bawa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakannya.

selengkapnya baca di :
http://hizbut-tahrir.or.id

SIAPA PELATIH SRIWIJAYA FC ?